SEMA No.1 Tahun 2018 Langgar HAM dan Asas Praduga Tak Bersalah
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi’i (berpeci). Foto: Runi/od
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1/2018 dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) dan asas praduga tidak bersalah. SEMA ini harus dievaluasi, agar prinsip hukum dan HAM tak dilanggar.
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi’i menyampaikan hal itu di Yogyakarta, Minggu (1/4/2018). SEMA yang baru saja dikeluarkan MA itu berisikan tentang Larangan Pengajuan Praperadilan bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO). Edaran ini menurut MA untuk memberikan kepastian hukum.
“Edaran tersebut harus dievaluasi ulang karena melanggar asas praduga tak bersalah atau melanggar hak asasi manusia,” ucapnya kepada Parlementaria. Asas praduga tidak bersalah harus dijunjung tinggi dan sudah merupakan hak tersangka untuk mengajukan itu ke sidang praperadilan walau sedang masuk DPO.
“Seseorang berhak mengajukan praperadilan untuk memastikan apakah benar sangkaannya yang diajukan kepadanya,” ucapnya lebih lanjut. Politisi asal Sumut ini pun menambahkan, jika ini benar dilarang, berarti para tersangka yang DPO akan kehilangan kesempatan untuk membuktikan sangkaan yang dituduhkan kepadanya. Syafi’i mempertanyakan mengapa hukum yang diterapkan penegak hukum cenderung mengabaikan HAM dan hak-hak warga negara.
“Seperti tentang Perpu pembubaran ormas yang kemudian dijadikan udang-undang. Padahal, ormas tersebut memenuhi persyaratan, namun kemudian dibubarkan tanpa melalui proses peradilan. Ini mengabaikan hak sebagai warga negara,” tekan politisi yang dikenal dengan sapaan Romo ini.
Sebagaimana diketahui. SEMA ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada 23 Maret lalu. Hal tersebut untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pengajuan praperadilan bagi tersangka dengan status DPO. MA juga menegaskan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan penasihat hukum atau keluarga tersangka yang buron, permohonannya tetap tidak dapat diterima sekaligus tidak dapat mengajukan upaya hukum lainnya setelah praperadilan ditolak. (rni/mh)